Opini  

Rusak-Rusakan Pendidikan

Oleh: Yusri A. Boko (Kritikus Pendidikan)

Spasinews.com TERNATE – Tulisan Rusak-Rusakan pendidikan di motivasi atas judul buku Darmaningtyas, yakni Pendidikan Rusak-Rusakan. Bagi penulis, Rusak-Rusakan pendidikan berlaku bagi pelaku pendidikan. Siapa itu? Ya pimpinan satuan pendidikan dan stakeholder yang terlibat. Logika yang digunakan ialah, pendidikan lebih bergerak pada terminologi mendidik anak “manusia”. Aktivitas mendidik sesuai amanat UU 14 Tahun 2005 , ya guru dan dosen.

Perspektif pendidikan..!!!

Secara esensi, pendidikan telah ada sebelum anak itu lahir (dalam kandungan–perspektif Islam). Junaenah Misbah (2000), mengungkapkan dalam Islam pendidikan sudah ada sebelum kita lahir, di mana orang tua harus mampu memberikan nutrisi bagi perkembangan dan pertumbuhan anak kelak dengan cara memberikan asupan makanan halal bagi istri yang mengandung.

Hal ini karena, kelak anak ini secara langsung “memotret” kepribadian orang tua. Bila yang masuk dalam rahim seorang ibu ialah makanan “tidak halal” maka kepribadian anak menjadi kausalitas atas apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tua nya.

Di dalam hadits telah dikemukakan bahwa: “Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunya lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau menjadikan dia Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinga nya” (HR Bukhari dan Muslim).

Meminjam pernyataan Prof.Ki Supriyoko Direktur Pasca Universitas Tamansiswa Yogyakarta: “Orang tua adalah guru yang pertama dan utama”. Disini peran orang tua dalam mengenali dan memberikan tanda larangan (baik buruk) sangat besar. Namun, sebuah pembenaran “baik–buruk” menjadi tanggungjawab besar pula bagi seorang guru atau dosen karena sekolah dan kampus mengajarkan kepada mereka tentang domain-domain baik dan buruk.

Kata pendidikan yang konon katanya berasal dari istilah Yunani kuno, yakni “paeda” dan “agere” yang berarti “bimbingan yang diberikan kepada anak”. Dari seorang paedagogos (pembantu), yang mengantar dan menjemput anak ketika ke sekolah (tempat menitip anak).

Aktivitas mengantar dan menjemput anak menjadi tugas seorang pembantu (paedagogos). Sentuhan paedagogos ini, secara harfiah melahirkan pentingnya wadah (institusi). Yang saat ini, kita sebut pendidikan.

Secara filosofis, Plato dan Socrates telah mendirikan “academia” (sekolah). Dengan berdirinya academia, itu berarti lahirnya peradaban baru, atau dikenal “renesaincs”. Era di mana filsafat menjadi trend dalam mengungkapkan kebenaran.

Oleh karena itu, mestinya pendidikan hari ini harus mencerminkan nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Kehadiran pendidikan harus nya bukan melegitimasi kepentingan individu, kelompok atau intitas tertentu. Dalam hal ini, pendidikan tidak bisa di “modifikasi” sebagai alat “perbudakan”. Sehingga kata “mendidik” berubah makna menjadi “mendikte”, sebuah konotasi yang buruk.

Mendidik butuh “introspeksi”..!!

Wong…. sebagai pendidik (guru/dosen), bagaimana kita mendidik orang lain melainkan kita sendiri bagian dari “korban salah didik”. Nabi Muhammad SAW: “ketika mendapat mandat langit untuk risalah dakwah, Allah mengutuskan beliau untuk berdakwah secara diam-diam, makna diam ialah “melalui keluarga “. Dalam konteks tasawuf, mungkin kita melihat sebagai penegasan hakekat. Hal ini agar tidak terkontra dengan syiar secara eksternal (syareat), istilahnya didiklah perilaku keluarga mu sebelum kita mendidik orang lain.

Jadi tidak bisa menyepelekan tugas pokok dan fungsi guru dan dosen. Tidak bisa bilang,..:Jang terlalu “idealis” dari kata “ideal” itu menegaskan pada makna kompleksitas. Bahwa guru harus mendidik dengan hati, membentuk karakter siswa/mahasiswa. Menguasai metode, dan dapat bertanggungjawab kepada bangsa dan negara. Bahkan akhirat sekalipun.

Idealis itu sebuah “keharusan” bukan “kehausan”. Jika idealis disampingkan, maka guru tidak puas dengan standar gajinya (UMR). Tugasnya sesuai dengan UU, semua sudah di atur, tunjangan dan penghargaan (sertifikasi). Jadi tidak ada alasan tidak idealis.

Pendidikan modern tidak bisa mengilhami “perbudakan”, sebagai pewarisan Raja Firaun, dan Kaisar Romawi. Para pendidik tidak bisa berperan ganda, sehingga memunculkan pertanyaan apakah guru saat ini hadir karena fenomena sejarah atau sesuatu keakal-akalan manusia modern.

Strategi Pengendalian..!!

Strategi Pengendalian yang saya maksudkan ialah “pengendalian diri”. Apa yang harus kita lakukan? Stakeholder pendidikan harus benar -benar sadar bahwa pendidikan bukan milik pribadi (privatisasi) pendidikan. Hal ini karena di dalam UUD 45, tidak ada istilah privatisasi pendidikan digunakan untuk kepemilikan. Hal ini karena pendidikan berlangsung umum untuk semua warga negara.

UU No 20 Tahun 2003 (Sisdiknas), tujuan pendidikan nasional ialah untuk membentuk potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan menjadikan manusia yang demokratis.

Disini, pendidikan butuh “nonako” apa itu nonako? “tanda untuk dikenal” dan yang dimaksud dengan tanda ialah value (nilai karakter). Sebagai pendidik, delapan belas nilai karakter menjadi hal mutlak yang harus diajarkan.

Pendidikan bukan tentang merampok, merampas, dan meniadakan “fitrah” peserta didik (siswa/mahasiswa) sebagai makhluk merdeka.

Kesadaran pamong; pimpinan, guru dan dosen harus terserap dalam ruang batin. Dan bukan libsting, pendidikan nonformal akhir-akhir ini lebih dominan memberikan anak-anak bangsa harapan tentang ilmu pengetahuan ketimbang lembaga formal yang indikasinya mengandalkan “profit-orientet”.

Disinilah kekalahan pendidik. Kita dipaksakan untuk K A L A H karena penguasaan dan kepemilikan pribadi atas lembaga pendidikan…(*).

banner 680x450

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *